Mending saya mati dok
Kalimat-kalimat yg menyampaikan keinginan untuk mati, bukan tidak jarang saya temui ketika bertemu dengan pasien penyakit kronis. “Mending saya mati dok”, “Kapan saya dipanggil sama yg kuasa dok”, “Kok saya ga mati-mati ya dok”. Ada yg disampaikan dengan penuh emosi, ada yg disampaikan dengan tangis, ada pula yg mengucapkannya dengan nada bercanda tapi tampak serius.
Jika kalimat ini muncul, saya hanya bisa terdiam dan mengingatkan pasien tersebut untuk istighfar, dan menyediakan kedua telinga saya untuk mendengarkan apa yg ingin mereka sampaikan, apa yg mereka pendam hingga muncul kalimat-kalimat tadi.
Semua alasan ini spesial, masing-masing punya intrikasi pada kehidupan saya. Beberapa menyerah karena keadaannya yang tidak kunjung baik, beberapa lelah dengan rutinitas pengobatannya, beberapa sedih karena kawan seperjuangan yg selama ini bersama-sama melawan penyakitnya meninggal sebelum mereka. Tapi yang paling menyedihkan untuk saya adalah mereka yang mempertanyakan kapan mereka meninggal karena mereka tidak mau merepotkan keluarganya.
Sebagai seseorang yg memegang “family first” dalam daftar prioritasnya, sedih mendengar pasien berbicara hal tersebut.
Pasien Bp. W, usianya 62 tahun, ia punya anak 5, hanya 3 yang berdomisili di kota yg sama. Ia menyebutkan 3 anaknya bergantian mengurusnya selama di RS dan di rumah, yang ia sesalkan adalah keadaannya yg sakit ini membuat beberapa masalah rumah tangga anak-anaknya: ada yg terancam bercerai, ada yg bisnisnya berhenti karena membiayai sakit ayahnya ini, bahkan salah satu anaknya meninggalkan suami dan anak di Jakarta untuk merawat beliau.
Pasien Bp.S 42 tahun, menangis menyesalkan keadaannya yg tidak kunjung membaik, membuatnya di usianya yg seharusnya masih produktif menjadi pengangguran, anak istri terlantar, ia menyerah dan ingin mati karena ketidakberdayaannya sbg seorang kepala rumah tangga yg lumpuh (beliau terkena stroke dengan riwayat DM tidak terkontrol, luka dekubitus yg dialami tidak kunjung sembuh dan akhirnya beliau meninggal setelah 12 hari dirawat karena sepsis).
Alangkah sedihnya ketika ajal menjemputpun mereka masih berpikiran hal yg sama, menyalahkan Tuhan kenapa mereka, menyalahkan diri sendiri kenapa tidak cepat mati…
“Tidaklah seorang mukmin tidak tertimpa penderitaan berupa penyakit atau perkara lainnya, kecuali Allah hapuskan dengannya kejelekan-kejelekannya (dosa-dosanya) sebagaimana pohon menggugurkan daunnya.” (H.R.Bukhari dan Muslim).
Jangan bersedih dengan sakit yg dialami, Allah tidak pernah tidur, Allah janjikan kemudahan setelah kesusahan, diulang 2 kali dalam surah yg sama.
Allah janjikan peninggian derajat bagi mereka yg ikhlas menerima sakitnya,
” Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan innalillahi wainnailaihi rajiun. Mereka itulah yang mendapat keberkahan yang sempurna dan rahmat dari Rabb mereka dan mereka itulah orang yang mendapat petunjuk.” (Al Baqarah : 155-157).
Saya jadi ingat kata2 seorang seniman, yg sebenarnya saya kurang setuju pemilihan kosakatanya, tapi setuju dengan maksud dibaliknya, “yg menghina Tuhan itu bukan mereka yg menginjak2 kitab suci, tetapi mereka yg takut besok tidak bisa makan, yg takut rejekinya tidak mencukupi”. Sejatinya, hidup dan mati seseorang hanya Allah yg tahu…
Wallahu a’lam bissawab..hanya Allah yg tahu apa yg di dalam hati. Jika terucap kalimat tersebut di atas, mungkin hanyalah bentuk frustasi yg membuncah pada saat mereka menjalani sakitnya, padahal hati mereka sudah menerima sakitnya dan ikhlas untuk dipanggil menghadapNya.
Hanya Allah yg tau. . .
Hanya Allah yg berhak memberikan syafa’at.
Bukankah Allah maha pemurah ?
Yang bisa saya lakukan, dan mungkin anda lakukan adalah mendengarkan apa yg mereka resahkan, dan mendo’akan. Do’akan yg terbaik bagi mereka…